Senin, 16 Desember 2013

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Belajar merupakan kegiatan yang berproses dan termasuk unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Menurut Syah (2006), belajar adalah tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Proses belajar yang dimaksud ditandai oleh adanya perubahan-perubahan perilaku yang bersifat positif yang berorientasi pada aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan). Sebagai suatu proses, faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar seperti lingkungan, sarana dan fasilitas pendidikan, kondisi fisiologis dan psikologis merupakan hal- hal yang diproses, sedangkan hasil dari pemrosesan adalah prestasi belajar (Purwanto, 2006). Pendekatan belajar (approach to learning) dan strategi pembelajaran termasuk faktor-faktor yang juga menentukan tingkat keberhasilan proses belajar.
Kesadaran bahwa belajar adalah proses menjadi dirinya sendiri (process of becoming person) bukan proses untuk dibentuk (process of beings haped) menurut kehendak orang lain, membawa kesadaran yang lain bahwa kegiatan belajar harus melibatkan individu atau client dalam proses pemikiran: apa yang mereka inginkan, apa yang dilakukan, menentukan dan merencanakan serta melakukan tindakan apa saja yang perlu untuk memenuhi keinginan tersebut. Inti dari pendidikan adalah menolong orang belajar bagaimana memikirkan diri mereka sendiri, mengatur urusan kehidupan mereka sendiri untuk berkembang dan matang, dengan mempertimbangkan bahwa mereka juga sebagai makhluk sosial.

B.     Rumusan masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan kebutuhan belajar?
2.      Bagaimana mendiagnosis kebutuhan belajar orang dewasa?
3.      Apa saja model pengukuran kebutuhan belajar?

C.    Tujuan dan manfaat
1.      Agar dapat menjelaskan dan mengetahui tentang kebutuhan belajar.
2.      Untuk mendiagnosis kebutuhan belajar orang dewasa.
3.      Untuk mengetahui cara menganalisis kebutuhan belajar.
4.      Dapat menerapkan cara mengidentifikasi kebutuhan belajar dengan baik.

  
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kebutuhan belajar
Kegiatan penting yang kadang terabaikan dalam merancang program pembelajaran adalah identifikasi kebutuhan belajar. Menurut Prof. Djuju Sudjna keutuhan belajar dapat diartikan sebagai suatu jarak antara tigkat pengetahuan, keterampilan, dan/atau sikap yang ingin diperoleh seseorang, kelompok, lembaga, dan/atau masyarakat yang hanya dapat dicapai melalui kegiatan belajar. Kaufman, menyebutkan bahwa masalah adalah selected gap. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kebutuhan belajar merupakan sebuah gap antara keadaan yang sesungguhnya dengan keadaan yang diharapkan dan itu harus terpenuhi dengan jalan belajar. Sebagai misal, seorang pemuda yang menyatakan keinginannya untuk belajar sosiologi dalam rangka memperluas pengetahuannya tentang kehidupan social masyarakat di Indonesia bahkan dunia. Dengan demikian, keinginan yang dirasakan dan dinyatakan, baik lisan maupun tulisan, yang harus dipenuhi melalui kegiatan belajar disebut kebutuhan belajar.
Pada tahap pengidentifikasian kebutuhan belajar ini, sebaiknya guru melibatkan peserta didik untuk mengenali, menyatakan dan merumuskan kebutuhan belajar, sumber-sumber yang tersedia dan hambatan yang mungkin dihadapi dalam kegiatan pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan belajar. Identifikasi kebutuhan belajar bertujuan antara lain untuk melibatkan dan memotivasi peserta didik agar kegiatan belajar dirasakan sebagai bagian dari kehidupan dan mereka merasa memilikinya. Hal ini dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Peserta didik didorong untuk menyatakan kebutuhan belajar berupa kompetensi tertentu yang ingin mereka miliki dan diperoleh melalui kegiatan pembelajaran.
b. Peserta didik didorong untuk mengenali dan mendayagunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk memenuhi kebutuhan belajar.
c. Peserta didik dibantu untuk mengenali dan menyatakan kemungkinan adanya hambatan dalam upaya memenuhi kebutuhan belajar, baik yang datang dari dalam maupun dari luar
Kebutuhan belajar itu beragam hingga setiap orang cenderung memiliki kebutuhan belajar yang berbeda. Apabila suatu kebutuhan belajar telah terpenuhi, akan muncul kebutuhan belajar lainnya yang harus dipenuhi melalui kegiatan belajar. Kebutuhan belajar perlu diidentifikasi melalui pendekatan perorangan. Identifikasi ini dilakukan dengan menggunakan instrument yang cocok sehingga dapat mengungkap informasi yangn dinyatakan oleh setiap individu yang merasakan kebutuhan belajar. Instrtumen ini diantaranya uadalah wawancara, angket, dan kartu SKBM ( sumber dan kebutuhan belajar masyarakat ).
Kebutuhan belajar yang dirasakan sama oleh setiap individu dalam satu kelompok disebut kebutuhan belajar kelompok. Kebutuhan belajar kelompok ini pada umumnya dapat dipenuhi melalui kegiatan belajar bersama atau kegiatan belajar kelompok. Kelompok belajar bertujuan untuk terjadinya proses belajar yang didasarkan atas kebutuhan belajar yang telah diidentifikasi sebelumnya. Dengan kata lain bahwa hasil identifikasi kebutuhan bahan belajar itu dijadikan bahan masukan dalam penyusun kurikulum atau program belajar. Kebutuhan belajar dapat disusun kedalam berbagai golongan. Beberapa pakar pendidikn dan peneliti kebutuhan belajar yang dikemukakan dibawah ini dibuat oleh Johnstone dan rivera (1965) dalam buku “Volunteers of Learning” yakni :
a. Kebutuhan belajar yang berkaitan dengan tugas pekerjaan;
- Peningkatan keterampilan untuk melaksanakan tugas professional.
- Keterampilan untuk melakukan pelatihan dan pembelajaran.
- Pengetahuan dan keterampilan manajerial/administrasi perusahaan
- Keterampilan menggunakan teknik advertensi dan pemasaran.
- Pengetahuan dan keterampilan manajemen perkantoran .

b. Kebutuhan belajar yang berhubungan dengan kegemaran dan rekreasi;
- Keterampilan berolah raga
- Keterampilan membuat dekorasi
- Keterampilan menggunakan alat musik
- Keterampilan melukis dan memahat
- Keterampilan rekreasi lainnya  

 c. Kebutuhan belajar yang berkaitan dengan keagamaan;
- Peningkatan pengetahuan tentang agama yang dianut dan cara pengalamanya
- Peningkatan kesadaran dan sikap beragama
- Pengetahuan dan keterampilan tentang cara-cara untuk mempelajari dan menyiarkan agama
d. Kebutuhan belajar yang berhubungan dengan penguasaan bahasa dan pengetahuan umum;
- Pengetahuan dan keterampilan bahasa asing
- Pengetahuan dan keterampilan tentang kesusasteraan
- Pengetahuan dan pemahaman tentang sejarah
- Pengetahuan dan keterampilan ppenggunaan matematika dan statistika

e. Kebutuhan belajar yang berkaitan dengan kerumahtanggaan;
- Keterampilan tata busana
- Keterampilan tata boga
- Keterampilan meningkatkan pendapatan keluarga
- Keterampilan membina keluarga sehat.

f. Kebutuhan belajar yang berkaitan dengan penampilan diri;
- keterampilan memelihara kesegaran jasmani
- keterampilan membaca cepat
- keterampilan belajar secara aktif
- keterampilan berbicara di depan umum
- keterampilan berkomunikasi secara efektif
- keterampilan bergaul di masyarakat
 g. Kebutuhan belajar yang berhubungan dengan pengetahuan peristiwa baru;
- pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa di dalam negeri
- pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa di luar negeri
- pengetahuan tentang berbagai aliran politik
- pengetahuan tentang cara menjadi warga negara yang baik
h. Kebutuhan belajar yang berhubungan dengan usaha dibidang pertanian;
- keterampilan mengolah tanah , memilih bibit , dan memelihara tanaman
- keterampilan memberantas penyakit dan hama tanaman
- keterampialan mengolah hasil pertanian dan memasarkannya
- keterampilan beternak hewan dan ikan
- keterampilan membina usaha pertanian

i. Kebutuhan belajar yang berkaitan dengan pelayanan jasa ;
- keterampilan mengemudi
- keterampilan perbengkelan
- keterampilan pelayanan jasa angkutan
- keterampilan yang berkaitan dengan jasa lainnya   

B.     Mendiagnosis Kebutuhan Belajar Orang Dewasa
Proses mendiagnosis kebutuhan belajar itu melibatkan tiga langkah :
Pertama, dengan mengembangkan suatu model tingkah laku yang diinginkan atau kompetensi yang diperlukan. Kedua, melalui tingkat penampilan kompetisi orang itu. Dan ketiga, menilai kesenjangan antara model dengan tingkat penampilannya sekarang.
1.      Mengembangkan Model Kompetensi
Model atau tingkah laku yang diinginkan atau kompetensi yang diperlukan dapat dikembangkan dengan berbagai jalan, diantaranya melalui :
a.      Penelitian
Misalnya The Cooperative, Extension Service, telah berhasil mengembangkan suatu model kompetensi yang diperlukan yang berhasil dengan melalui hasil penemuan penelitian dari Pusat Percobaan  Pertanian mengenai cara menghasilkan panen yang baik. Kompetisi yang diperlukan bagi guru-guru, dokter, para administrator rumah sakit dan pekerja social serta para professional lainnya telah banyak dilakukan penelitian. Tetapi pada kebanyakan pekerjaan yang nonvokasional yang memusat pada kehidupan manusia, sedikit sekali dilakukan penelitian mengenai kompetensi yang diperlukan.
b.      Pertimbangan Para Ahli
Banyak kelembagaan yang menggunakan para ahlinya untuk mengkontruksi model kompetensi yang diperlukan untuk suatu peranan yang unik dalam kelembagaanya. Misalnya perkumpulan Pramuka di Amerika Serikat baru-baru ini memutuskan untuk . membuat suatu latihan kepemimpinan. Mereka mengadakan pertemuan para ahli dari bermacam departemen dan tingkat organisasi untuk mengidentifikasi sepuluh area dari kompetensi yang diperlukan untuk para pemimpin. Kemudian mereke mengonstruksi suatu “mode” yang menggambarkan mengenai kompetensi umum yangn diperlukan, serta mencatat perilaku khusus yang berkaitan dengan masing-masing kompetensi tersebut.
c.       Analisis tugas
Dilakukan dengan pengamatan,studi atau mencatat beberapa orang yang sedang melakukan suatu peranan tertentu. Dan ini akan memungkinkan untuk mengkonstruksi suatu model kompetensi yang dipunyai oleh pelaksana yang paling efektief. Suatu analisis tugas yang baik terdiri dari pengkategorian situasi yang dihadapi oleh suatu peran dan mendeskripsikan jenis-jenis perbuatan serta kompetensi yang diperlukan.
d.      Partisipasi kelompok
Kelompok membuat model kompetensi yang akan menghasilkan belajar yang lebih besar. Sumber data bagi kelompok dalam mengembangkan model berasal dari :
1.      Hasil penelitian dan pertimbangan para ahli
2.      Pengamatan oleh peserta didik
3.      Presentasi para ahli di kelas
4.      Wawancara peserta ahli dalam masyarakat
5.      pengalaman peserta dan hasil observasi
6.      pengalaman pelatih dan pemimpin
2.      Menilai tingkat penampilan sekarang
Sedikitnya perhatian yang diberikan kepada peserta orang dewasa untuk mendiagnosa kebutuhannya membuat kemampuanya dalm mendiagnosa tingkat penampilannya sangat terbatas. Adanya persaingan untuk kenaikan kelas merupakan salah satu elemen dalam tradisi pendidikan. Mengakibatkan kebanyakan  orang dewasa mengikuti kegiatan pembelajaran lebih bersifat defensif. Kerenanya mendiagnosis sendiri dengan tujuan untuk mngetahui kelemahannya adalah aneh bagi mereka. Berdasarkan suatu pengalaman, presentasi tingkat mengenai rasional dari self diagnose sebagai suatu yang esensial dari cara belajar sendiri secara terarah akan membantu membuat konsep lebih mudah diterima. Cara yang paling sederhana dalam mendiagnosa sendiri adalah pengalaman laboratoris hubungan antarmanusia. Sikap ini dapat diperkuat dengan melalui kegiatan dalam diskusi kelompok yang diadakan prosedur untuk menganalisis perilaku kelompok.
3.      Memberikan bukti-bukti mengenai penampilan saat ini
Penampilan yang berbeda menyebabkan berbeda pula prosedur penilaiannya. Penilaian terhadap penampilan pada area “pengetahuan” memerlukan peserta untuk menunjukkan apa yang diketahui. Penilaian terhadap penampilan pada area “pemahaman dan kesadaran” memerlukan peserta untuk menunjukkan kemampuannya dalam suatu situasi,dapat melihat pola,mengembangkan kategori, mengetahui hubungan sebab akibat,dan secara umum dapat menerapkan pengetahuan dan proses berpikirnya untuk menganalisis dan memecahkan masalah. Bagi sebagian orang dewasa, latihan simulasi akan lebih realistic dan relevan dipakai untuk mengetahui tingkat penampilan kemampuan dan berpikir kritis mereka. Penilaian terhadap penampilan pada area “ketrampilan”memerlukan peserta untuk menunjukkan perbuatan yang dikuasai . penilaian terhadap penampilan “sikap dan minat” lebih sulit dibandingkan dengan menilai pengetahuan dan ketrampilan seseorang.

4.      Penilaian kebutuhan belajar
Langkah terakhir dalam proses mendiagnosa diri sendiri adalah menilai kesenjangan antara model perilaku yang diinginkan dengan penampilan perilaku yang sekarang. Adanya kesenjangan antara perilaku yang diinginkan dengan penampilan perilaku yang sekarang merupakan pencerminan kebutuhan belajar.

C.    Model Pengukuran Kebutuhan Belajar
Model pengukuran kebutuhan belajar merupakan bentuk pengukuran terhadap hal-hal yang harus ada dan dibutuhkan dalam kegiatan belajar, yang disajikan oleh pendidik (guru) dan disesuaikan dengan program pembelajaran yang dilakukan. Terdapat tiga model pengukuran dalam mengidentifikasi kebutuhan belajar, yaitu model induktif, model deduktif dan model klasik (Koufman, 1972).

1. Model Induktif
Pendekatan yang digunakan dalam model Induktif menekankan pada usaha yang dilakukan dari pihak yang terdekat, langsung, dan bagian-bagian ke arah pihak yang luas, dan menyeluruh. Oleh karena itu, melalui pendekatan ini diusahakan secara langsung pada kemampuan yang telah dimiliki setiap peserta didik, kemudian membandingkannya dengan kemampuan yang diharapkan atau harus dimiliki sesuai dengan tuntutan yang datang kepada dirinya. Model ini digunakan untuk mengidentifikasi jenis kebutuhan belajar yang bersifat kebutuhan terasa (felt needs) atau kebutuhan belajar dalam pendidikan yang dirasakan langsung oleh peserta didik. Model Induktif ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu: 1). dapat diperoleh informasi yang langsung, 2). tepat mengenai jenis kebutuhan Peserta didik, sehingga memudahkan kepada guru (pendidik) untuk memilih materi belajar yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Namun, kelemahannya pun ada, yaitu; dalam menetapkan materi pendidikan yang bersifat menyeluruh, dan umum untuk peserta didik yang banyak dan luas akan membutuhkan waktu, dana, dan tenaga yang banyak. Model induktif memiliki langkah-langkah sebagai berikut :
-  Mulai dari pengukuran tingkah laku siswa pada saat sekarang;
- Kemudian mengelompokkan dalam kawasan program dari sudut tujuan (umum) yang diharapkan;
- Harapan-harapan tersebut dibandingkan dengan tujuan yang besar yang ada pada kurikulum, baru lahirlah kesenjangan.
- Untuk menyediakan program, maka disusun tujuan secara terperinci dalam program yang tepat, dilaksanakan, dievaluasi, dan direvisi.
Pelaksanaan pengukuran (assessment) kemampuan yang telah dimiliki calon peserta pelatihan disesuaikan dengan kondisi calon itu sendiri. Apabila calon sudah bisa membaca dan menulis, maka identifikasi dapat dilakukan melalui kegiatan pemberian angket, atau juga bisa melalui wawancara, dengan pokok-pokok pertanyaan.
Setelah memperoleh sejumlah kebutuhan belajar baik dari satu atau beberapa peserta, maka pendidik perlu menetapkan prioritas kebutuhan belajar. Penetapan prioritas ini dapat dilakukan pendidik bersama-sama peserta didik atau dilakukannya sendiri, yang kemudian diinformasikan lebih lanjut kepada peserta yang didasarkan kepada hasil jenis kebutuhan belajar yang diperoleh. Teknik yang digunakan untuk penetapan ini dapat dilakukan melalui diskusi, atau curah. pendapat, atau pasar data. Apabila pendidik sudah memperoleh penetapan prioritas, maka pendidik bertugas untuk mengembangkan materi pembelajaran, serta menyelenggarakan proses belajar.

2. Model Deduktif
Pendekatan pada model ini dilakukan secara deduktif, dalam bahwa identifikasi kebutuhan pembelajaran dilakukan secara umum, dengan sasaran yang luas. Apabila akan menetapkan kebutuhan belajar untuk peserta didik yang memiliki karakteristik yang sama, maka pelaksanaan identifikasinya dilakukan pengajuan pertimbangan kepada semua peserta didik (sasaran). Keuntungan dari tipe ini adalah bahwa hasil identifikasi dapat diperoleh dari sasaran yang luas, sehingga ada kecenderungan penyelesaiannya menggunakan harga yang murah, dan relatif lebih efesien dibanding dengan tipe induktif, karena informasi kebutuhan belajar yang diperoleh dapat digunakan untuk penyelenggaraan proses belajar dalam pelatihan secara umum. Namun demikian, model ini mempunyai kelemahan dari segi efektifitasnya, karena belum tentu semua peserta didik (sasaran) diduga memiliki karakteristik yang sama akan memanfaatkan, dan membutuhkan hasil identifikasi tersebut. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa keanekaragaman peserta didik cenderung memiliki minat dan kebutuhan belajar yang berbeda. Kebutuhan belajar hasil identifikasi model deduktif termasuk jenis kebutuhan terduga (expected needs),bahwa peserta didik pada umumnya diduga membutuhkan jenis kebutuhan belajar tersebut. Hal menarik bahwa, pernyataan jenis kebutuhan bisa tidak diungkapkan oleh diri peserta didik secara langsung, akan tetapi oleh pihak lain yang diduga memahami tentang kondisi peserta didik.
Model deduktif memilki langkah-langkah sebagai berikut:
- Dimulai dari tujuan umum berupa pernyataan hasil belajar yang diharapkan;
- Kembangkan ukuran / kriteria untuk mengukur tingkah laku tertentu;
- Kumpulkan data untuk mengetahui adanya kesenjangan;
- Atas dasar kesenjangan – kesenjangan tersebut disusun tujuan khusus
- Program dikembangkan, dilaksanakan, dan di evaluasi.
Identifikasi pada model ini dilakukan secara universal kepada tiga pihak sasaran, yaitu :
1. Keluarga peserta pelatihan atau anggota masyarakat lain yang berkepentingan dengan pendidikan.
2. Pelaksana dan Pengelola Pelatihan: Kepala, penyelenggara, pelatih (tutor) dll.
3. Peserta pelatihan, untuk setiap jenis materi pembelajaran yang akan dikembangkan di kelas
Pelaksanaan identifikasi kebutuhan pelatihan(kebutuhan belajar) pada model deduktif ini dimulai dari identifikasi kepada kedua pihak (keluarga, orang tua, dan pengelola pelatihan) kemudian penetapan keputusannya disesuaikan dengan jenis kebutuhan pelatihan yang diharapkan oleh peserta. Teknik yang digunakan dalam kegiatan identifikasi kebutuhan model ini adalah kuesioner, dan inventori yang disampaikan kepada ketiga pihak di atas, yang intinya menanyakan atau menyusun daftar jenis-jenis kebutuhan belajar yang diduga diperlukan untuk peserta. 
3. Model Klasik
Model klasik ini ditujukan untuk menyesuaikan bahan belajar yang telah ditetapkan dalam kurikulum atau program belajar dengan kebutuhan belajar yang dirasakan peserta (sasaran). Pendidik mengidentifikasi kesenjangan di antara kemampuan yang telah dimiliki peserta didik dengan bahan belajar yang akan dipelajari. Tujuan dari model klasik ini adalah untuk mendekatkan kemampuan yang telah dimiliki dengan kemampuan yang akan dipelajari, sehingga peserta pelatihan didik tidak akan memperoleh kesenjangan dan kesulitan dalam mempelajari bahan belajar yang baru. Keuntungan dari model ini adalah untuk memudahkan peserta didik dalam mempelajari bahan belajar, di samping kemampuan yang telah dimiliki akan menjadi modal untuk memahami bahan belajar yang baru. Kelemahannya adalah bagi peserta didik yang terlalu jauh kemampuan dasarnya dengan bahan belajar yang akan dipelajari menuntut untuk mempelajari terlebih dahulu kesenjangan kemampuan tersebut, sehingga dalam mempelajari kebutuhan belajar yang diharapkannya membutuhkan waktu yang lama.
Kegiatan identifikasi kebutuhan belajar model klasik ini dilakukan pendidik kepada peserta didik, dengan cara pemberian tes, wawancara, atau kartu kebutuhan belajar, untuk menetapkan kemampuan awal peserta (entry behavior level). Selanjutnya, kemampuan awal tersebut dibandingkan dengan susunan pengetahuan yang terdapat dalam materi (modul, satpel dll) yang sudah ada. Apabila pendidik memperoleh hasil bahwa kemampuan peserta didik di bawah batas awal bahan belajar yang terdapat pada program belajar, maka peserta didik perlu memberikan supplement terlebih dahulu, sampai mendekati batas bahan pelatihan yang akan dipelajari. Namun, apabila pendidik memperoleh hasil bahwa kemampuan awal sudah berada pada pokok bahasan yang ada pada program, maka peserta pembelajaran bertugas untuk menetapkan strategi belajar dalam pelatihan yang tepat untuk membelajarkan peserta dari pokok bahasan pertama. Penetapan metode belajar ini ditujukan untuk menghilangkan kebosanan pada diri peserta.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Merupakan suatu keharusan bahwa kebutuhan belajar tertentu dari para peserta dalam suatu kegiatan belajar perlu didiagnosa. Kebutuhan belajar pada tiap orang sangat berbeda. Seluruh pihak dan terkait dengan kebutuhan belajar. Sebagai pengajar Identifikasi kebutuhan belajar bertujuan antara lain untuk melibatkan dan memotivasi peserta didik agar kegiatan belajar dirasakan sebagai bagian dari kehidupan dan mereka merasa memilikinya. Proses mendiagnosis kebutuhan belajar sendiri terjadi dengan mengembangkan suatu model tingkah laku yang diinginkan atau kompetensi yang diperlukan. Dan melalui tingkat penampilan kompetisi orang itu. Selain itu menilai kesenjangan antara model dengan tingkat penampilannya sekarang.

  
DAFTAR PUSTAKA





Kamis, 12 Desember 2013

Langkah-Langkah Pokok Dalam Proses belajar Partisipatif (Andragogi)

Berdasarkan pada implikasi andragogi untuk praktek dalam proses pembelajaran kegiatan pelatihan, maka perlu ditempuh langkah-langkah pokok sebagai berikut:
1.    Menciptakan Iklim Pembelajaran yang Kondusif
Ada beberapa hal pokok yang dapat dilakukan dalam upaya menciptakan dan mengembangkan iklim dan suasana yang kondusif untuk proses pembelajaran, yaitu:
  • Pengaturan Lingkungan Fisik
Pengaturan lingkungan fisik merupakan salah satu unsur dimana orang dewasa merasa terbiasa, aman, nyaman dan mudah. Untuk itu perlu dibuat senyaman mungkin:
· Penataan dan peralatan hendaknya disesuaikan dengan kondisi orang dewasa.
· Alat peraga dengar dan lihat yang dipergunakan hendaknya disesuaikan dengan kondisi fisik orang dewasa.
· Penataan ruangan, pengaturan meja, kursi dan peralatan lainnya hendaknya memungkinkan terjadinya interaksi sosial.
  • Pengaturan Lingkungan Sosial dan Psikologis
Iklim psikologis hendaknya merupakan salah satu faktor yang membuat orang dewasa merasa diterima, dihargai dan didukung. Untuk itu diperlukan:
· Fasilitator lebih bersifat membantu dan mendukung.
· Mengembangkan suasana bersahabat, informal dan santai.
·Menciptakan suasana demokratis dan kebebasan untuk menyatakan pendapat tanpa rasa takut.
· Mengembangkan semangat kebersamaan.
· Menghindari adanya pengarahan dari siapapun.
· Menyusun kontrak belajar yang disepakati bersama
2.    Diagnosis Kebutuhan Belajar
Dalam andragogi tekanan lebih banyak diberikan pada keterlibatan seluruh warga/peserta belajar di dalam suatu proses melakukan diagnosis kebutuhan belajarnya:
  • Melibatkan seluruh pihak terkait (stakeholder) terutama pihak yang terkena dampak langsung atas kegiatan itu.
  • Membangun dan mengembangkan suatu model kompetensi atau prestasi ideal yang diharapkan
  • Menyediakan berbagai pengalaman yang dibutuhkan.
  • Lakukan perbandingan antara yang diharapkan dengan kenyataan yang ada, misalkan kompetensi tertentu.
3.    Proses Perencanaan
Dalam perencanaan pendidikan hendaknya melibatkan semua pihak terkait, terutama yang akan terkena dampak langsung atas kegiatan pendidikan tersebut. Tampaknya ada suatu "hukum" atau setidak tidaknya suatu kecenderungan dari sifat manusia bahwa mereka akan merasa 'committed' terhadap suatu keputusan apabila mereka terlibat dan berperanserta dalam pengambilan keputusan. Untuk itu diperlukan:
  • Libatkan peserta untuk menyusun rencana pendidikan, baik yang menyangkut penentuan materi pembelajaran, penentuan waktu dan lain-lain.
  • Temuilah dan diskusikanlah segala hal dengan berbagai pihak terkait menyangkut pendidikan tersebut.
  • Terjemahkan kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi ke dalam tujuan yang diharapkan dan ke dalam materi belajar.
  • Tentukan pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas di antara pihak terkait siapa melakukan apa dan kapan.
4.    Memformulasikan Tujuan
Setelah menganalisis hasil-hasil identifikasi kebutuhan dan permasalahan yang ada, langkah selanjutnya adalah merumuskan tujuan yang disepakati bersama dalam proses perencanaan partisipatif. Dalam merumuskan tujuan hendaknya dilakukan dalam bentuk deskripsi tingkah laku yang akan dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut di atas. Dalam setiap proses belajar, tujuan belajar hendaklah mencakup tiga hal pokok yakni: kognitif, afektif, dan psikomotorik.
5.    Mengembangkan Model Umum
Ini merupakan aspek seni dan arsitektural dari perencanaan pendidikan dimana harus disusun secara harmonis antara beberapa kegiatan belajar seperti kegiatan diskusi kelompok besar, kelompok kecil, urutan materi dan lain sebagainya. Dalam hal ini tentu harus diperhitungkan pula kebutuhan waktu dalam membahas satu persoalan dan penetapan waktu yang sesuai.
6.    Menetapkan Materi dan Teknik Pembelajaran
Dalam menetapkan materi dan metoda atau teknik pembelajaran hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
  • Materi pembelajaran hendaknya ditekankan pada pengalaman-pengalaman nyata dari peserta belajar.
  • Materi belajar hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan berorientasi pada aplikasi praktis. Bukan berarti materi yang disusun hanya bersifat pragmatis.
  • Metoda dan teknik yang dipilih hendaknya menghindari teknik yang bersifat pemindahan pengetahuan dari fasilitator kepada peserta, tetapi akan lebih baik jika bersifat mendorong ketajaman analisis dan metodologi.
  • Metoda dan teknik yang dipilih hendaknya tidak bersifat satu arah namun lebih bersifat partisipatif, atau dalam bahasa Freire “dialogis”.
7.    Peranan Evaluasi
Pendekatan evaluasi secara konvensional (pedagogi) kurang efektif untuk diterapkan bagi orang dewasa. Untuk itu pendekatan ini tidak cocok dan tidaklah cukup untuk menilai hasil belajar orang dewasa. Ada beberapa pokok dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar bagi orang dewasa yakni:
  • Evaluasi hendaknya berorientasi kepada pengukuran perubahan perilaku setelah mengikuti proses pembelajaran / pelatihan.
  • Sebaiknya evaluasi dilaksanakan melalui pengujian terhadap dan oleh peserta belajar itu sendiri (Self Evaluation).
  • Perubahan positif perilaku merupakan tolok ukur keberhasilan.
  • Ruang lingkup materi evaluasi "ditetapkan bersama secara partisipatif" atau berdasarkan kesepakatan bersama seluruh pihak terkait yang terlibat.
  • Evaluasi ditujukan untuk menilai efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan program pendidikan yang mencakup kekuatan maupun kelemahan program.
  • Menilai efektifitas materi yang dibahas dalam kaitannya dengan perubahan sikap dan perilaku. 

Implikasi untuk praktek

Dalam pedagogi atau konsep pendidikan konvensional, karena berpusat pada materi pembelajaran (Subject Matter Centered Orientation) maka implikasi yang timbul pada umumnya peranan guru, pengajar, pembuat kurikulum, evaluator sangat dominan. Pihak murid atau peserta belajar lebih banyak bersifat pasif dan menerima. Paulo Freire, menyebutnya sebagai "Sistem Bank" (Banking System). Hal ini dapat terlihat pada hal-hal sebagai berikut:
  • Penentuan mengenai materi pengetahuan dan ketrampilan yang perlu disampaikan yang bersifat standard dan kaku.
  • Penentuan dan pemilihan prosedur dan mekanisme serta alat yang perlu (metoda & teknik) yang paling efisien untuk menyampaikan materi pembelajaran.
  • Pengembangan rencana dan bentuk urutan (sequence) yang standard dan kaku
  • Adanya standard evaluasi yang baku untuk menilai tingkat pencapaian hasil belajar dan bersifat kuantitatif yang bersifat untuk mengukur tingkat pengetahuan.
  • Adanya batasan waktu yang demikian ketat dalam "menyelesaikan" suatu proses pembelajaran materi pengetahuan dan ketrampilan.
Dalam andragogi, peranan guru, pengajar atau pembimbing yang sering disebut dengan fasilitator adalah mempersiapkan perangkat atau prosedur untuk mendorong dan melibatkan secara aktif seluruh warga belajar, yang kemudian dikenal dengan pendekatan partisipatif. Dalam  proses belajarnya melibatkan elemen-elemen:
  • Menciptakan iklim dan suasana yang mendukung proses belajar mandiri.
  • Menciptakan mekanisme dan prosedur untuk perencanaan bersama dan partisipatif.
  • Diagnosis kebutuhan-kebutuhan belajar yang spesifik.
  • Merumuskan tujuan-tujuan program yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan belajar.
  • Merencanakan pola pengalaman belajar.
  • Melakukan dan menggunakan pengalaman belajar ini dengan metoda dan teknik yang memadai.
  • Mengevaluasi hasil belajar dan mendiagnosis kembali kebutuhan-kebutuhan belajar, sebagai sebuah proses yang tidak berhenti.
Oleh karena itu, dalam memproses interaksi belajar dalam pendidikan orang dewasa, kegiatan dan peranan fasilitator bukanlah memindahkan pengetahuan dan ketrampilan kepada peserta pelatihan. Peranan dan fungsi fasilitator adalah mendorong dan melibatkan seluruh peserta dalam proses interaksi belajar mandiri, yaitu proses belajar untuk memahami permasalahan nyata yang dihadapinya, memahami kebutuhan belajarnya sendiri, dapat merumuskan tujuan belajar, dan mendiagnosis kembali kebutuhan belajarnya sesuai dengan perkembangan yang terjadi dari waktu ke waktu. Dengan begitu maka tugas dan peranan fasilitator bukanlah memaksakan program atau kurikulum dari atas atau dari NGO  yang dibuat di balik meja –yang berjarak/terlepas – dari  kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi peserta belajar.